Sponsor: | Running Text Running Text Running Text Running Text This blog |

Nazhar Sebelum Menikah

penulis Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Syariah Problema Anda 28 - Februari - 2007 06:38:23

Seorang pemuda yg hendak menikahi seorang wanita bolehkah dia memandang wanita tersebut bagaimana batasan dan kapan diperbolehkan?

Jawab:
Alhamdulillah. Haram seorang lelaki memandang wanita yg bukan mahram termasuk dlm kategori tahrimul wasilah. Arti diharamkan krn merupakan wasilah yg akan menyeret kepada perkara inti yg memang haram pada asalnya. Sehingga seluruh wasilah dan dzari’ah menuju perkara tersebut ditutup oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn cara diharamkan. Kaidah ini dikenal di kalangan ulama dgn istilah saddudz-dzari’ah .
Sesuatu yg pengharaman termasuk dlm bab ini bisa dibolehkan ketika ada hajat kebutuhan meskipun bukan darurat. Ini adl ushul yg dipegang oleh Al-Imam Ahmad sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dlm Majmu’ Fatawa .
Berdasarkan hal ini tatkala seorang lelaki berhajat utk memperistri seorang wanita dan sebalik mk hajat tersebut menuntut utk saling mengenal terlebih dahulu. Sehingga kedua menikah tdk secara membabi buta yg mengandung resiko timbul penyesalan di kemudian hari dan berakibat tdk harmonis kehidupan rumah tangga mereka berdua.
Syariat yg penuh hikmah dan bijaksana ini menginginkan tercipta rumah tangga yg harmonis yg terbina di atas cinta dan kasih sayang agar pasangan suami istri hidup tenang dan bahagia. Dengan demikian kedua akan memiliki ‘iffah serta mampu ber-ta’awun dlm menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjaga diri dari maksiat. Demikian pula berbagai maslahat lain yg merupakan tujuan disyariatkan pernikahan. Wallahu ‘alimun hakim .
Dalam rangka memenuhi tuntutan hajat ini mk seorang lelaki yg hendak menikahi seorang wanita diizinkan utk melakukan nazhar wanita yg hendak dilamarnya. Sebagaimana dlm hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

“Apabila salah seorang kalian melamar seorang wanita hendaklah dia memandang bagian tubuh yg akan menjadikan tertarik utk menikahi jika dia mampu melakukannya.”
Begitu pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yg mengisahkan seorang lelaki yg datang dan mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia telah melamar seorang wanita dari kalangan Anshar. mk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:

أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ اْلأَنْصَارِ شَيْئًا

“Apakah engkau telah melihatnya?” Lelaki itu menjawab: “Belum.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Hendaklah engkau melihat terlebih dahulu krn pada mata wanita-wanita Anshar ada sesuatu.”
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum nazhar. Sebagian mereka mengatakan hukum mubah dan sebagian yg lain mengatakan sunnah mustahab.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata dlm Asy-Syarhul Mumti’ : “Yang benar dlm masalah ini hukum sunnah . Jika seseorang telah mengenal tanpa melakukan nazhar mk tdk ada hajat bagi utk melakukan nazhar. Seperti hal bila dia mengutus seorang wanita yg benar-benar dia percayai utk mengenali wanita yg hendak dipinang . Meskipun demikian pada hakekat nazhar orang lain tdk cukup mewakili nazhar yg dilakukan sendiri. Karena boleh jadi wanita itu cantik di mata orang lain namun belum tentu cantik di mata sendiri.1 Boleh jadi wanita itu dinazhar dlm keadaan gembira dan riang yg tentu saja berbeda jika dinazhar dlm keadaan sedih. Juga terkadang wanita yg dinazhar berusaha utk tampil cantik dgn berdandan menggunakan make up sehingga disangka cantik padahal tdk demikian hakikatnya.”
Perlu diketahui bahwa nazhar yg syar’i memiliki beberapa persyaratan:
1. Nazhar hanya terbatas pada bagian tubuh tertentu. Batasan ini diperselisihkan para ulama. dlm hal ini Al-Imam Ahmad memiliki tiga riwayat .
Riwayat pertama sama dgn pendapat jumhur ulama yg mengatakan bahwa yg boleh dilihat adl sebatas wajah dan telapak tangan.
Riwayat kedua beliau berpendapat bahwa boleh utk melihat bagian tubuh yg biasa nampak dan terlihat dlm keseharian ketika di rumah saat bersama mahram seperti wajah kepala leher lengan dan betis.
Ibnu Qudamah dlm Al-Mughni menerangkan riwayat ini: “Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan utk nazhar secara mutlak baik dgn seizin dan sepengetahuan si wanita yg bersangkutan ataupun tdk berarti beliau mengizinkan utk melihat apa yg biasa terlihat dlm keseharian ketika di rumah bersama mahramnya. Karena ketika melakukan nazhar secara diam-diam tanpa seizin dan sepengetahuan si wanita mk tdk mungkin membatasi diri hanya melihat wajah saja. Bahkan bagian-bagian tubuh lain yg biasa nampak tentu akan terlihat pula.”
Riwayat ketiga sama dgn pendapat Azh-Zhahiriyah yakni boleh melihat seluruh bagian tubuh tanpa kecuali.
Dan yg rajih adl riwayat/pendapat kedua dari Al-Imam Ahmad.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata dlm At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin Nadiyyah : “Jika hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu tdk menunjukkan apa yg dikatakan Ibnu Hazm mk tdk diragukan lagi bahwa hadits tersebut menunjukkan makna lbh dari batasan yg disebutkan oleh jumhur. Wallahu a’lam.”
Asy-Syaikh Al-Albani juga berkata dlm Ash-Shahihah : “Riwayat yg kedua dari Al-Imam Ahmad lbh dekat kepada dzahir2 hadits dan praktik para shahabat. Wallahu a’lam.”
Pendapat ini juga dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dlm Asy-Syarhul Mumti’ .
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Jika dia belum melihat sesuatu yg menjadikan dia tertarik pada nazhar yg pertama boleh bagi utk mengulangi nazhar utk yg kedua atau ketiga kalinya.”
Hal ini krn Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan secara mutlak tanpa membatasi satu kali saja.
2. Nazhar dilakukan tanpa khalwat . Karena tdk ada tuntutan hajat dan maslahat utk ber-khalwat. Bahkan bisa menjatuhkan kedua dlm perkara-perkara yg melanggar syariat sehingga hal ini tetap haram hukumnya. Jadi nazhar dilakukan dgn cara ditemani oleh wali atau mahram si wanita.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Jika tdk mungkin mk boleh bagi si lelaki utk bersembunyi di tempat yg akan dilewati wanita tersebut dan mengamati secara diam-diam.”
3. Nazhar dilakukan tanpa disertai syahwat. Karena wanita tersebut belum menjadi istri sehingga tdk dibenarkan dia bersenang-senang dgn memandangi disertai syahwat.
4. Nazhar dilakukan apabila si lelaki telah bertekad utk melamar si wantia. Jika sekedar coba-coba atau barangkali dan barangkali mk tdk dibenarkan. Karena pada asal nazhar hukum haram. Ha saja diizinkan ketika ada kebutuhan dan maslahat pernikahan. Sehingga nazhar tdk boleh melampaui apa yg diizinkan syariat.
5. Nazhar dilakukan apabila ada ghalabatuzh zhann bahwa lamaran akan diterima. Seandai dia seorang yg fakir atau miskin kemudian menazhar anak seorang pejabat atau seorang lanjut usia menazhar seorang gadis belia perawan dan cantik mk kemungkinan besar lamaran akan ditolak.
Terakhir sebagai peringatan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata dlm Asy-Syarhul Mumti’ : “Tidak boleh melakukan percakapan dgn wanita yg dinazhar saat melakukan nazhar. Karena percakapan lbh membangkitkan syahwat dan lbh menggoda utk meni’mati suara dari sekedar nazhar. Oleh krn itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: ‘Hendaklah ia memandang dari tubuhnya’ bukan mengatakan: ‘Hendaklah dia mendengar suaranya’.”
Wallahu a’lam.

1 Karena kecantikan adl sesuatu yg relatif.
2 Makna hadits yg nampak dan terpahami secara langsung.

Hukum Memakai Cincin Kawin/Cincin Pertunangan

Apa hukum memakai cincin kawin atau cincin pertunangan?

Alhamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah.
Telah diajukan pertanyaan seputar masalah ini kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Dan beliau berfatwa:
“Cincin tunangan adl ungkapan dari sebuah cincin . Pada asal mengenakan cincin bukanlah sesuatu yg terlarang kecuali jika disertai i’tiqad tertentu sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Seseorang menulis nama pada cincin yg dia berikan kepada tunangan wanita dan si wanita juga menulis nama pada cincin yg dia berikan kepada si lelaki yg melamar dgn anggapan bahwa hal ini akan menimbulkan ikatan yg kokoh antara keduanya. Pada kondisi seperti ini cincin tadi menjadi haram krn merupakan perbuatan bergantung dgn sesuatu yg tdk ada landasan secara syariat maupun inderawi .1
Demikian pula lelaki pelamar tdk boleh memakaikan di tangan wanita tunangan krn wanita tersebut baru sebatas tunangan dan belum menjadi istri setelah lamaran tersebut. mk wanita itu tetaplah wanita ajnabiyyah bagi krn tidaklah resmi menjadi istri kecuali dgn akad nikah.”

Telah diajukan juga sebuah pertanyaan kepada Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah: “Apa hukum mengenakan cincin atau cincin tunangan apabila terbuat dari perak atau emas atau logam berharga yg lain?”
Beliau menjawab: “Seorang lelaki tdk boleh mengenakan emas baik berupa cincin atau perhiasan yg lain dlm keadaan apapun. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan emas atas kaum laki2 umat ini. Dan beliau melihat seorang lelaki yg mengenakan cincin emas di tangan mk beliaupun melepas cincin tersebut dari tangannya. Kemudian beliau berkata:

يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَضُعَهَا فِي يَدِهِ؟

“Salah seorang kalian sengaja mengambil bara api dari neraka lalu meletakkan di tangannya?”
Maka seorang lelaki muslim tdk boleh mengenakan cincin emas. Adapun cincin selain emas seperti cincin perak atau logam yg lain mk boleh dikenakan oleh laki2 meskipun logam tersebut sangat berharga. Mengenakan cincin tunangan bukanlah adat kaum muslimin . Apabila cincin itu dipakai disertai dgn i’tiqad akan menyebabkan terwujud rasa cinta antara pasangan suami istri dan jika ditanggalkan akan memengaruhi langgeng hubungan kedua mk yg seperti ini termasuk syirik.2 Dan ini merupakan keyakinan jahiliyah.
Maka tdk boleh mengenakan cincin tunangan dgn alasan apapun karena:
1. Merupakan perbuatan taqlid terhadap orang2 yg tdk ada kebaikan sedikitpun pada mereka di mana hal ini adl adat kebiasaan yg datang ke tengah-tengah kaum muslimin bukan adat kebiasaan kaum muslimin.
2. Apabila diiringi dgn i’tiqad akan memengaruhi keharmonisan suami istri mk termasuk syirik.
Wala haula wala quwwata illa billah.

Kedua ulama ini sepakat bahwa jika cincin tunangan itu dipakai disertai i’tiqad yg disebutkan mk hukum haram dan merupakan syirik kecil. Adapun bila tanpa i’tiqad tersebut kedua berbeda pendapat. Dan pendapat Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan lbh dekat kepada al-haq dan lbh selamat. Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Menjadikan perkara tertentu sebagai sebab dlm usaha mencapai sesuatu padahal syariat tdk memerintahkan dan tdk ada pula hubungan sebab akibat antara perkara tersebut dgn tujuan yg akan dicapai adl perbuatan syirik kecil; yg merupakan wasilah yg akan menyeret seseorang utk terjatuh dlm perbuatan syirik besar yg membatalkan keislamannya. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kesyirikan.
2 Yakni syirik kecil.

Sumber: www.asysyariah.com


Bagikan

1 komentar:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus




close